Talent Pop Teens:

Karena dunia remaja adalah games sesungguhnya

talent pop teens

Story By: MQ Maria

Part I

 

Dittt…dittt!

“Kaaay, syutingnya sudah dimulaaaai. Buruaaaan, lo telaaaaat!!!”

Teriakan pemuda dan bunyi klakson itu membaur bising. Pemuda itu menurunkan kaca jendela Honda New Civic hitam yang terparkir di halaman rumah. Dia menatap pintu rumah terbuka di belakannya dengan kesal. Apa sih yang dilakukan Kay? Kenapa adiknya itu lama sekali?

Lihat, pagar rumah di depannya sudah terbuka lebar. Mesin mobil sudah dipanaskan. Dia sendiri sudah siap dengan kemudinya. Musik penghilang kantuk pun sudah diputar sejak tadi. Tapi Kay, orang yang berkepentingan itu malah belum muncul. Perjalanan ini sangat penting, tidak bisa disepelekan.

Perjalanan ini mungkin akan menentukan masa depan Kay!

Dengan sedikit kesal, pemuda bertubuh kurus ini melongokkan kepala keluar jendela. Sial! Langit pun mulai tak bersahabat. Cuaca Rabu pagi ini pun seperti tidak mendukung keberangkatannya. Matahari tak menampakkan dirinya. Awan tebal menyelubungi langit. Bahkan sudah tercium aroma hujan meski belum turun butiran.

Kenapa ini seperti pertanda buruk???

“Gak gue anterin entar anaknya makin ngelunjak, lagi. KAAAY, BURUAAAAN!” Pemuda berkemeja rapi ini semakin tak sabar.

Diiiittt… diiiiittt! Dia menekan klakson lebih keras sampai bunyinya seperti ringkihan kambing kurban yang siap disembelih.

“Kay, kalo gue ngambek bahaya lo.” Dia masih saja berteriak-teriak. Namun tak ada respon apa pun. Sosok Kay tetap tidak muncul. Derap langkah pun tidak terdengar. “Dasar Kay!!!” Gemas, akhirnya dia membuka pintu dan melompat keluar.

“JANGAN TARIK, MAMAAAAHHH!!! KAY GAK MAU IKUT ACARA ITUUUU!!! KAY GAK MAU SYUTIIIING!”

Dan Ken Alexander, nama pemuda ini, refleks mengembangkan bibir puas. Dia menyilangkan tangan di dada, lantas bersandar santai di badan mobil. “Hehehe.” Dan terkekeh pelan menikmati tontonan seru di ambang pintu. Dia tak perlu susah-susah lagi menyeret Kay. Mama melakukannya lebih dulu dengan saaangat baik.

Adik bungsunya, Kay Alexander, tertatih-tatih di belakang Mama. Mama menggenggam tangan remaja 17 tahun itu dengan kuat. Kay terus merintih di seretannya, tapi Mama tampak tak peduli.

PLAKKK! Mama bahkan memukul pantat Kay. Ken tercengang. Pasti keras sekali sampai terdengar bunyinya. Ternyata Mama bisa keras juga pada si manja. Ken tersenyum lebar memamerkan susunan giginya yang kurang rapi.

“Mamaaaaah, sakit tau!” Kay mengusap-usap pantatnya. Wajahnya kucel sekali. Dia hanya memakai celana jeans selutut dan T-shirt hitam polos sederhana.

“Makanya jangan bandel. Acara itu sangat penting buat kamu. Kalau kamu gak berangkat, kamu bakalan di-blacklist dari daftar peserta. Dan kalau sampai itu terjadi, Mama gak akan maafin kamu,” tegas Mama. Wanita berambut sebahu ini menurunkan paksa tubuh Kay. Dia meraih kepala Kay dan menyisir rambut putranya yang berantakan.

Kay tak bisa berontak. Dia hanya manyun-manyun. “Tapi Kay gak mau ikut acara ituuu. Kay gak suka sama kamera. Emangnya Kay artis, apa???” rutuk Kay, menunjuk kameramen yang sejak tadi malam meliputnya.

Kameramen bertubuh besar itu berdiri di samping Kay. Pria 40 tahunan berkacamata ini adalah kru dari tim produksi yang diutus atasannya untuk ke rumah Kay dan meliput aktivitas persiapan Kay sebelum di lokasi syuting resmi.

Kay benci melihat paras kameramen itu, juga 2 orang kru cewek dan 1 cowok yang bermalam di rumahnya sejak tadi malam. 4 orang kru itu sudah mengganggu ketenangannya.

“Hei, sebentar lagi lo jadi artis, kekeke. Lo bakalan masuk tivi. Atau sekedar nampang diiklan pembasmi kecoa, hahahaha,” ledek Ken dengan terkikik. Dia tahu Kay sangat alergi dengan kecoa.

Kay hanya mencibir kakaknya. “Bisa gak sih, kameranya gak usah dinyalain?” Kay mendorong moncong kamera yang terus mengarah padanya. Sedikit angkuh.

Kameramen ini mulai tak enak. Namun dia tak bisa memenuhi kemauan Kay.

“Ini sudah ketentuan acara, Kay. Mohon dimengerti.” Salah satu kru cewek berwajah manis itu meminta pemakluman. Kru cewek lainnya bergegas menarik koper yang sudah diisi dengan beberapa perlengkapan pribadi Kay. Dia membuka bagasi mobil hitam bertuliskan “Cool TV”. Sementara sang kameramen tak peduli dan terus merekam ekspresi Kay. Mereka tampak profesional.

Namun sangat mengganggu!

Kay mengerucutkan bibir. Sementara Mama terus merapikan penampilannya. Dia hanya mendesis pasrah. Dia berpikir, kehidupannya akan amburadul setelah mengikuti acara ini.

“Ken, pastikan anak ini gak kabur dari acara. Kalau perlu kamu bawa mobilnya ngebut-ngebut biar dia gak berani membuka pintu di tengah jalan lalu melompat keluar,” tekan Mama. Dia melirik tajam pada Kay. Dia ingat dulu Kay pernah melakukannya saat hendak pergi ke dokter gigi.

“Tapi itu kan waktu Kay 8 tahun, Mah. Kenapa mamah selalu melihat Kay seperti anak kecil???” protesnya.

“Nah ini, protas-protes terus kayak anak kecil. Udah jangan bawel.” Mama menepuk pipi Kay. Kay hanya mengerdip-ngerdipkan mata kesal.

“Manfaatkan kegiatan positif ini dengan baik. Tunjukkan semua talentamu. Kamu harus berhasil. Kamu harus juara, oke. Kalau kamu pulang hanya membawa malu, Mama gak mau bukain pintu 2 hari 2 malam biar kamu kedinginan di luar,” ancam Mama.

“Yack!” Kay terlongo. “Kay sendiri gak niat berkompetisi di ajang itu. Lalu bagaimana Kay bisa menang???”

Mama tak peduli. Terkadang, niat baik seseorang ada setelah mendapat dorongan dan dukungan dari orang lain. “Cepat berangkat!” Wanita berpenampilan sederhana ini menepuk punggung Kay yang lemas.

“Mamah menyebalkan!” semprot Kay uring-uringan. Dia melangkah lebar-lebar menuju mobil dengan menghentakkan kaki.

“Kamu harus banyak senyum, sayaaang. Kalau jutek begitu, nanti gak ada peserta yang mau jadi teman kamu. Nanti sesampainya di sana, mukamu jangan ditekuk seperti ini,” pesan Mama khas seorang ibu. Tapi Kay tak menggubrisnya.

“Euugh!” Mama menarik-narik pipi Kay dengan gemas.

“Mamaaaah!” Kay memprotes manja sebelum Mama juga menarik-narik hidungnya seperti kebiasaan mama. Remaja berjambul yang memamerkan dahi lebarnya itu terburu-buru membuka pintu mobil dan melompat masuk. Brukkk! Dan menutup pintu mobil dengan keras. Sepertinya Kay sangat kesal.

Mama memandangi mobil sampai mobil itu keluar jauh dari pagar rumah. Mengantarkan kepergian Kay dengan sedikit perasaan sepi.

“Mama pasti merindukanmu, Kay,” bisiknya tanpa terdengar oleh Kay. Mungkin tadi dia terlihat keras, namun sehari-harinya tidak begitu.

Dia bersikap keras demi masa depan Kay!

Jika dia lembek, Kay pasti akan menolak syuting di acara itu. Acara itu sangat penting untuk masa depan Kay, jadi tidak boleh dilewatkan begitu saja. Sebuah kesempatan emas yang mungkin hanya datang sekali seumur hidup. Mama sendiri sebenarnya belum bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa kehadiran si bungsu tercinta. Ah, melepas kepergian anaknya meski hanya 15 hari tidaklah mudah.

Ya, Kay memang akan pergi 15 hari untuk mengikuti sebuah even!

Sebuah acara seru, baru dan menarik!

Talent Pop Teens!!!


 

 

Sebuah ajang pencarian bakat populer akan segera hadir di COOL TV, Talent Pop Teens.

Para remaja diseleksi dengan mempertunjukkan bakat mereka seperti singing, dancing, musical performing, acting, modelling, presenting, juga bakat-bakat populer lainnya.

Ajang pencarian bakat yang akan dikemas dengan perpaduan format reality, variety dan games show. Disebut Reality show karena syuting diadakan tanpa naskah. Dialog, gestur, tingkah laku yang natural dan bukan akting. Variety show karena rencananya syuting mereka akan diadakan di beberapa tempat dengan kondisi dan situasi yang berbeda dan tak terduga. Games show karena di setiap harinya mereka akan mendapatkan tantangan berupa Shocked-games. Dan Talent-show karena peserta acara dipilih berdasarkan bakat dan kemampuan.

10 peserta yang terdiri dari 5 cewek dan 5 cowok itu akan berkompetisi dengan menjalani serangkaian games, kuis, pelatihan, dan tantangan. Mereka akan syuting selama 15 hari, dengan nyaris 24 jam berada dalam sorotan kamera. Peserta yang memiliki bakat, kemampuan mental dan fisik terhebat, personality yang kuat, dan terfavorit di mata pemirsa akan dinobatkan menjadi King atau Queen of Talent Pop Teens session 1!

WOW! Belum pernah ada acara seperti ini sebelumnya. Beberapa jurnalis bahkan menyebut Talent Pop Teens, akan menjadi “tontonan remaja dengan terobosan baru” di situs portal mereka.

Acaranya sendiri belum memulai syuting. Namun sudah terdengar merdu di social media Twitter. Bahkan hashtag #TalentPopTeens sudah pernah menjadi Trending Topic Worldwide #3. Akun produser acara @alvin_cooltv ikut terkenal dan menjaring ribuan follower hanya dalam beberapa hari.

Di Twitter dan Facebook juga sudah muncul beberapa fanspage yang siap mengupdate acara ini. Para sponsor juga memberikan ambassador agar brand mereka bisa berseliweran sepanjang acara dan produk mereka dipakai oleh ke-10 peserta kontes. Mulai dari produsen T-shirt, kalsium, multivitamin, kartu seluler, sampai snack. Pihak Cool TV yang notabene channel televisi baru juga kebanjiran iklan semenjak tersiar kabar soal reality-variety-games-talent show ini. Dan tentu masih banyak kehebohan lainnya yang melebihi ekspektasi.

Pertanyaannya, bagaimana acara ini bisa sebegitu hebohnya???

Ya, harus diakui ini karena kejelian tim kreatif mengamati trend anak muda. Tim kreatif tahu benar situs Twitter tengah digilai para remaja.

Promosi lewat Twitter terbukti ampuh memancing euphoria!

Mereka juga sadar sekali popularitas Youtube sudah mengalahkan acara live musik di televisi. Jika ingin menikmati video klip dari musisi di seluruh dunia, pergilah ke Youtube. Banyak talenta muda yang bisa Go International berkat Youtube, seperti Justin Bieber, Greyson Chance atau gitaris muda berbakat Sungha Jung. Bahkan jika ingin tenar secara instan, tinggal me-lipsync lagu populer dengan gaya unik dan konyol seperti Norman Kamaru.

Karena itulah, tim produksi pun melakukan audisi lewat Youtube. Tim kreatif membuat video promosi cara pendaftaran, lalu meminta follower untuk me-retweet link penghubung ke video itu. 5 Follower terpilih yang telah me-retweet diberikan bingkisan seru.

Bisa dibilang, strategi yang simpel dan sederhana, namun tepat sasaran.

Upload video bakat dan aksi keren kalian ke Youtube. Kirimkan link videonya lewat Twitter dan mention akun @TP_Teens dengan hashtag #TalentPopTeensAudition.

Kemudian berbondong-bondong remaja berusia 14-18 tahun mengupload video narsis mereka. Ada yang bermodal nekat dengan bakat nyanyi di bawah standar. Ada pula yang berparas memikat namun bersuara pas-pasan. Ada yang hanya cuap-cuap me-lipsync lagu, menunjukkan kualitas diri mereka yang buruk. Bahkan ada yang sekedar coba-coba dengan membuat video parodi, melawak ala Mr. Bean untuk menarik perhatian. Total peminat audisi sampai membludak dan membuat pihak penyelenggara kewalahan.

8.000 lebih video dari seluruh daerah di Indonesia! Wow, ini menakjubkan untuk ajang baru seperti Talent Pop Teens.

Dengan proses seleksi ketat, akhirnya tim Talent Pop Teens berhasil menemukan 10 finalis yang akan tampil di acara itu. Mereka yang terpilih jelas memenuhi syarat. Memiliki tampilan visual yang menarik, camera-face, camera-genic, photogenic, dan tentu saja bakat yang menonjol dan menjual.

Dan Kay Alexander adalah salah satu peserta yang berhasil. Videonya disaksikan lebih dari 500.000 view dengan 20.000 lebih likers dan kurang dari 1000 unlikers. Bakat dance-nya diakui sebagai yang terhebat. Prestasi awal yang mengagumkan, bukan?

Tapi kenapa Kay sendiri justru tidak suka dengan keikutsertaannya di acara itu???


 

Ya, Kay memang remaja yang istimewa. Dia layak sekali terpilih di ajang Talent Pop Teens. Pemuda berkulit sedikit gelap ini sangat sangat berbakat.

Ini tak lepas dari andil sang Mama, Laurencia. Dia sangat membanggakan kelebihan bungsunya itu.

Sejak SD, kamar Kay sudah dia lengkapi dengan perangkat video game dan juga komputer yang lengkap. Dampaknya, Kay menjadi maniak dan seringkali malas belajar karena keasyikan bermain games. Tapi, Mama memaklumi. Melihat anaknya selalu memenangkan games saat berduel dengan rekannya, dia bisa berbangga diri.

Anak lelakinya jagoan, bukan?

Dan mungkin, hobi ngegamesnya membuat Kay bisa dengan mudah menaklukan games di acara ini!

Juga ketika tahu Kay tertarik dengan permainan Skateboard, Mama berinisiatif membelikannya. Awalnya Kay sangat enjoy bermain skateboard meski terjatuh dan terluka beberapa kali.  Dia hanya berhenti karena menemukan hobi baru!

Saat teman SMP Kay datang ke rumah dan membawa gitar. Ya, hobi baru Kay adalah bermusik. Dan Mama tahu itu. Kay juga sempat didaftarkan ke tempat les piano namun tak bertahan lama. Mama membelikan Kay perangkat musik; drum, gitar, bass, dan keyboard. Mama juga mengubah sebuah kamar tamu luas menjadi studio latihan Kay.

Di antara 4 alat musik tersebut, Kay paling interes dengan drum. Dia merasa lebih berstamina dan gagah ketika memegang stik. Sangat laki, menurutnya. Namun karena tidak fokus dengan 1 alat musik, akhirnya Kay tidak bisa menguasai semua alat musik itu dengan baik.

Mama juga pernah membelikan kanvas dan alat-alat lukis, tidak mau kalah setelah melihat tetangga melakukan hal serupa. Namun sepertinya Kay sangat tidak tertarik dengan seni yang satu itu. Dia bahkan mau muntah saat mencium bau cat.

Kemudian Mama juga melapang-ratakan taman di belakang rumah menjadi arena basket untuk Kay. Kay memiliki pertumbuhan yang menakjubkan. Proporsional dengan tinggi badan mencapai 170 cm di usia SMP-nya. Kay pasti berbakat menjadi seorang pebasket. Kemudian, atas saran Mama, Kay mengambil ekskul Basket di SMA-nya. Namun prestasinya biasa-biasa saja. Bahkan lebih sering bolos latihan.

Suatu ketika, Kay jujur berkata bahwa dia sangat tertarik belajar dance; jazz, HipHop, popping, juga locking dance. Awalnya Mama tidak setuju. Menari? Apakah itu keren untuk seorang lelaki???

Namun Mama tak bisa menolak keinginan putranya. Mama memesan cermin besar ukuran 10×7 meter untuk dipajang di studio musik Kay. Peralatan musik Kay ditepikan agar Kay bisa leluasa berlatih dance. Kay jadi hobi meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama musik dengan menghadap cermin.

Dan Kay merasa paling percaya diri ketika dia menari!

Finally, setelah mencoba berbagai bidang, Kay memutuskan serius memperdalam dance. Mama mendukungnya. Boyband Korea dipuja-puji banyak gadis karena kehebatan dance mereka. Mungkin Kay akan mendapatkan respon yang sama.

Mama serius sekali mengembangkan bakat Kay. Menurutnya, anak seusia Kay harus diarahkan ke kegiatan positif agar tak terjerumus pada pergaulan yang salah. Di era modernisasi dengan kecanggihan teknologi juga kebebasan berekpresi seperti sekarang, peran orangtua sangat vital untuk membentuk kepribadian seorang remaja.

Mama juga sadar, beranjak dewasa, Kay semakin tampan dan manly. Kay memiliki rahang yang lebar, mata yang besar, alis yang tebal dengan lengkung sempurna, dagu berbelah, dan bibir yang berisi meski bentuk hidungnya tidak mancung. Parasnya menawan. Tubuhnya pun atletis dengan bahu yang lebar. Katanya, banyak gadis yang menyukai Kay karena fisiknya.

Tapi tentu saja, Mama tahu persis kepribadian Kay. Anak itu cukup pemalu!

Di sekolahnya, Kay tidak suka menunjukkan eksistensi. Tidak pernah mengejar seorang gadis, bahkan menghindar ketika didekati. Dia belum pernah berpacaran. Dia siswa yang biasa-biasa saja dan memang ingin biasa-biasa saja. Tidak ingin menonjolkan diri. Dia lebih senang mengundang teman ke rumah ketimbang keluyuran di jalan.

Di dunia maya pun, dia jarang bersosialisasi. Dia hanya memiliki beberapa teman dekat yang loyal. Tipe yang sulit berkenalan dengan orang baru. Bisa dibilang, tipe remaja yang sedikit tertutup. Tapi, dia tidak kesepian. Dia menikmati kehidupannya yang seperti ini. Tenang, dengan cara yang dia inginkan.

Dia pernah berkata bahwa dia tidak tertarik menjadi artis. Dia bahkan pernah sesumbar berkata, menjadi artis adalah hal terakhir yang akan dia lakukan.

Tapi menurut Mama, Kay harus mengubah kehidupannya yang datar itu. Sebagai anak lelaki, Kay harus mencoba berbagai tantangan. Oke, Kay nyaman dengan dunianya, namun dia tidak akan berkembang. Dia tidak akan belajar banyak tentang hidup. Kay memiliki bakat. Kay tampan. Kay berkarisma.

Dan Kay harus menunjukkannya pada dunia! Bukan hanya di dunianya sendiri.

Beruntung, link video promosi tim Talent Pop Teens berseliweran di Timeline akun milik Ken. Awalnya, pemuda 22 tahun ini yang berminat ikut audisi. Namun gagal sebelum berjuang karena terhalang persyaratan usia.

Tapi Ken tidak akan melewatkan acara seru ini begitu saja. Jika dia tidak bisa, maka adiknya harus bisa. Harus ada klan-nya yang berhasil di acara menarik itu.

Dia meminta Kay dance di depannya dan merekamnya. Dan tanpa sepengetahuan Kay, Ken mengunggah video itu ke Youtube dan…

Ya, keikutsertaan Kay di Talent Pop Teens karena inisiatif Ken dan Mama. Bukan atas kemauan dirinya sendiri.

Kay marah. Kay terpaksa. Namun tak bisa memberontak. Ini sudah terjadi. Mungkin memang takdir. Yang dia lakukan sekarang, mau tak mau harus menikmati perjalanan ini.


Pihak produksi menjamin, setelah even itu berakhir, akan banyak tawaran job di dunia keartisan. Salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia sudah mengincar 2 orang finalis untuk membintangi sinetron mereka. Ada pula stasiun televisi yang melirik salah satu finalis untuk dijadikan presenter infotainment. Beberapa label musik juga berkoar siap menaungi peserta untuk diorbitkan sebagai penyanyi profesional.

Dan Kay diberitahu bahwa dia juga ditaksir sebuah agensi untuk menjadi model. Model? Lenggak-lenggok di catwalk kah? Memakai kostum yang terkadang tak biasa? Dengan wajah yang dipenuhi make-up tebal, yang kadang berlebihan untuk seorang lelaki? Oh, membayangkannya saja dia risih!

Tapi mau bagaimana lagi???

Namanya sudah tercetak tebal sebagai salah satu dari finalis Talent Pop Teens. Semua orang sudah mengenalnya sebagai peserta Talent Pop Teens. Dia terlanjur memukau para juri dengan dance di video, yang saking populernya sampai muncul di beranda depan Youtube sebagai video unggulan itu.

“Cieee yang bakalan jadi artis. Pasang muka manyun begitu nggak bakalan juara, tau, kekeke!” Ken meledeknya dengan terkekeh. “Gue yakin, lo bisa dapetin juara 1. Gue percaya sama kemampuan lo.” Dan memulai opininya.

Sementara kameramen di samping Ken bergantian menyoroti Ken yang ada di balik kemudi, dan Kay yang terdiam merengut di barisan jok belakang. Kay duduk bersisian dengan kru bernama Santi. Kay menghela napas panjang dan melirik Santi yang tampak perhatian padanya.

“Jangan ragu berbicara, Kay. Ini reality show, tidak ada script dan aturan kamu harus melakukan seperti keinginan kami. Kami hanya memberikan arahan, tapi bagaimana kamu bersikap itu hak kamu,” nasihat Santi, kru tomboy berambut pendek nge-bob ini. “Katakan apa yang ingin kamu katakan. Dan bersikaplah seperti yang kamu inginkan. Santai saja, anggap tidak ada kamera di sekitarmu.”

Lalu kameramen jelek berkostum hitam-hitam ini siapa donk??? Malaikat pencabut nyawa??? Kay mendengus gusar dalam hati. “Kak Ken gak usah berharap banyak deh. Kak Ken pikir gue senang video dance gue dikomentarin banyak orang? Norak, tau gak!”

“Hahaha, padahal niat gue baik loh. Gue Cuma pengen bakat adik gue yang manis dan keren ini bisa dilihat banyak orang. Bangga kan punya adik yang populer, hehehe,” sahut Ken dengan santai.

“Tapi adik lo gak ingin populer, kakak Ken!!!”

“Hei, seseorang dengan bakat yang hebat gak akan mampu menolak sebuah popularitas,” tutur Ken.

“Gue gak mau jadi bahan pergunjingan. Gue malas jadi orang terkenal! Bahkan belum apa-apa, udah ada cewek yang sok manis di depan gue. Mengaku sebagai fans gue. Itu memuakkan.”

“Tapi kalau lo ingin berhenti, ini udah terlambat, Kay. Lo udah jadi finalis. And see, banyak yang menunggu performa lo di acara itu.”

“Ya ini semua gara-gara lo!” teriak Kay jemu. “Aargh!” Dihempaskannya punggung yang terasa tegang itu ke sandaran jok. Santi dan Ahmad, kameramen tersebut tak enak hati. Santi bahkan tak berani menatap mata Kay.

“Oke misalnya lo mundur, lo akan bebas dari kegelisahan dan resiko yang lo takuti. Tapi kelegaan itu hanya untuk sementara. Setelah lo berhenti, lo akan menyesali. Gue yakin itu,” Ken menjedanya dengan menarik napas.

“Lo mendapatkan kesempatan yang ingin dimiliki 8000 peserta lainnya yang tersisih. Lo bukan hanya memiliki faktor keberuntungan, tapi juga faktor X yang memesona banyak orang. Gue iri sama lo. Lanjutkan perjalanan ini meski berat, oke?” Dengan sabar Ken menasihatinya.

Meski kata-kata Ken bertujuan untuk memacu semangat, Kay tetap merasa Ken belum memahami penuh perasaannya. Benar, Talent-Pop Teens adalah wadah yang tepat untuk remaja dengan segudang bakat seperti Kay.

Tapi, kepercayaan diri pada bakat itu tak lantas membuat Kay terobsesi menjadi seseorang yang populer!

Dia menari karena dia menyenanginya. Murni sebuah hobi dan tak ingin menaik level-kannya menjadi profesi. Dia mencintai dance untuk dirinya sendiri.

“Gue risih dengan kamera. Gue gak suka jadi perhatian banyak orang,” cetus Kay gusar. “Gue akan menjadi salah satu bintang reality show. Wajah gue akan sering muncul di layar televisi. Gue akan dikenal banyak orang. Kedengarannya hebat bagi orang lain. Tapi bagi gue itu konyol!!!”

“Tapi video kamu diputar lebih dari 500.000 kali. Apakah itu suatu hal yang konyol?” Santi menimpali perbincangan dua kakak beradik itu. “Itu tidak main-main, Kay. Kamu hanya kalah dari Sehan yang dilihat 800.000 kali.”

Kay mengernyit. Sehan???


Ya, Kay ingat siapa Sehan. Sehan adalah salah satu finalis yang… ya, melebihi pencapaiannya. Bahkan Kay yakin, video audisi Sehan lah yang menarik perhatian dan dilihat lebih dulu. Sementara video Kay berada di samping video Sehan sebagai video yang disarankan.

Dan… dan… dan… Kay yakin kehebohan Talent Pop Teens di Twitter sebenarnya karena seorang Sehan. Paras Sehan sangat mirip dengan salah satu personel boyband Korea terkenal!

Sehan pernah menjadi bahan perbincangan oleh Korean Pop lovers hingga keluar negeri. Bahkan profilnya sempat muncul di headline situs berita khusus K-pop berskala internasional. Jika hashtag #TalentPopTeens pernah berada di nomor 3 Trending Topic World Wide, #SehanAditya justru pernah menjadi nomor 1!

Sehan sangat tampan, blasteran Indo-Arab-Prancis. Dia sudah memiliki fansclub bahkan sebelum Talent Pop Teens resmi dimulai. Ya, Sehan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk acara Talent-Pop Teens. Kepopuleran Sehan sudah overrated!

“Hhh, boro-boro meraih gelar juara, yang ada gue cuma mendapat malu,” lontar Kay bernada pesimis.

Mengingat Sehan, Kay sudah bisa meyakini siapa yang memiliki kans besar merebut tropi di pengujung acara! Seperti tidak ada kesempatan yang lain untuk juara!

Ken berpikir sejenak sebelum menanggapinya. Di luar, rintik-rintik hujan mulai mewarnai perjalanan mereka. Keadaan di sekitar mulai tertutupi kabut. Meski begitu, dia masih fokus mengendalikan setir. Pembicaraan ini serius, namun tak membuatnya kehilangan konsentrasi.

5 menit kemudian Ken lantas tersenyum dan berkata, “yang menarik perhatian pertama kali belum tentu yang terbaik.” Kalimatnya tentu mengacu pada Sehan. Dia juga mengupdate even ini sejak awal dan tahu kronologisnya.

“Lo bisa jadi kuda hitam, Kay,” desisnya tersenyum penuh makna. “Yang penting tunjukkin kekuatan lo dengan maksimal. Ketampanan bisa dikalahkan oleh bakat dan kemampuan.”

“Kuda hitam?” Kay membelo. “Mentang-mentang kulit gue item,” gumamnya.

“Kekeke!” Ken terkikik geli. Kameramen dan kru Santi juga ikut tertawa.

“Hei, item itu eksotis lagi. Menurut sebagian orang mungkin itu memang kekurangan. Tapi suatu saat mereka akan melihatnya sebagai suatu kelebihan. Ciri khas!”

“Eksotis apanya? Lo aja sering ngeledekin gue,” rutuk Kay manyun-manyun. Moodnya belum membaik.

Ken membersitkan senyum. “Jalani aja dulu. Ketakutan membuat hal yang mudah menjadi sulit. Keberanian membuat hal sulit menjadi mudah.”

“Hhh!” Kay mendesah hebat. “Ini reality show. Baik buruknya sikap gue, semua orang jadi tahu. Gimana kalau gue gak sengaja berbuat kesalahan, terus menjadi bahan ledekan orang se-Indonesia? Gue bisa malu,” keluhnya cemberut.

“Hei, hei, hei!” Ken coba menenangkannya. “Kalau lo gak berniat melakukan hal buruk, otomatis kesalahan juga bisa diminimalisir.”

“Gue takut kebiasaan buruk gue bikin malu keluarga. Lo juga bakalan ngeledekin gue.”

“Nah kan, lagi-lagi masalahnya ketakutan,” Ken menyeka peluh di dahinya. Aneh sekali, di luar hujan, di dalam ber-AC, kenapa dia berkeringat? Mungkinkah efek percakapan yang tak biasa ini?

“Hei, kesalahan itu resiko dari sebuah perbuatan. Kalau lo takut berbuat kesalahan, udah sana gak usah berbuat apa-apa. Jadi orang-orangan sawah aja!”

“Kakaaak! Lagi seriuuuus!”

“Kekeke!” Ken tertawa jahil. “Tunjukkin diri lo yang apa adanya, oke! Biarkan semua orang melihat lo sebagai diri lo sendiri. Semua keburukan yang ada di lo, itu kan tergantung penerimaan orang.”

“Maksudnya?” Kay menatap belakang kepala Ken meminta penjelasan. “Jadi gue nggak boleh menutup-nutupi sifat jelek gue di depan kamera???” liriknya pada kameramen yang duduk di samping Ken.

Ken berdehem sebelum memulai penjelasan. “Gue yakin, ada sifat buruk lo yang juga dimiliki oleh orang lain. Kesamaan itu membuat mereka jadi ‘merasa dekat’ dengan lo. Merasa senasib sama lo. Ketika lo mendapat kesialan buah dari sifat buruk lo, mereka bisa belajar dari pengalaman lo. Mereka mungkin akan menghindari kesalahan yang lo lakuin. Mereka juga bisa mendapatkan pre-solusi andai nanti mereka mengalami hal yang sama. Hingga mereka bisa berempati, respek sama lo. Itu yang gue maksud penerimaan,” papar Ken dengan diakhiri senyuman. Dia terlihat berkharisma.

“Lagipula, untuk seorang manusia, kesempurnaan itu membosankan!”

Refleks Kay mengangguk setuju. Ya, kesimpulannya… itu tergantung penerimaan. Bagaimana orang bisa menerima kita apa adanya, jika kita sendiri tidak menunjukkan diri kita yang apa adanya?

Ken tersenyum wibawa. “Yang terlihat sempurna hanya bisa memesona mata. Hanya untuk dinikmati. Gak pernah benar-benar bisa menyentuh hati. Dan sebaliknya, sebuah kekurangan, akan menarik simpati dan empati—dua perasaan yang berasal dari hati.”

Kay memperhatikan rahang dan tulang pipi tirus Ken yang membuat paras Ken lebih terlihat dewasa. Physiquely, dia charming dengan mata sipitnya. Bersahaja dengan postur bertinggi 176 cm meski bisa dibilang underweight. Dia juga bijaksana. Pandai memotivasi.

Kay menyanjung Ken dalam diamnya. Karena Ken, dia menjadi lebih tenang dan siap menghadapi kesulitan yang terbayang di benaknya. Sebagai bentuk terima kasih karena advice Ken, Kay ingin sekali memeluknya. Tapi, Kay malu. Kay melirik kameramen yang terus saja merekamnya. Bisa tidak ya, kameranya dimatikan sementara saat Kay memeluk Ken? Tapi Kay hanya menghela napas panjang.

“Kak, sepertinya lo udah salah pilih jurusan deh,” celetuk Kay terkekeh.

“Ha? Salah jurusan?” Ken terkesiap kebingungan. Dia memindahkan pandangan ke luar jendela. Memperhatikan jejeran perumahan yang berbaris rapi. Lantas menerawang mengingat-ingat sesuatu. Dia membawa mobilnya masuk ke sebuah perkomplekan. Tapi, dia merasa tak ada yang salah. Ini memang area yang ditujunya.

“Rumahnya ada di sekitar sini kok,” elaknya.

“Bukan ituuuu,” pekik Kay. “Harusnya lo jadi ustadz aja, bukannya milih jurusan arsitektur, hehehe,” guyonnya memelerkan lidah.

“Hahahah!” Tawa Ken terhambur. “Ustadz dadakan yang sedang menceramahi ABG labil dan galau, hahaha,” balasnya dengan mengerling nakal ke arah Kay.

“Ugh!” Kay memukul manja lengan Ken. “Siapa juga yang lagi galau? Gak keren banget galau-galauan.” Kay mendumel sampai bibirnya keriting.

“Cemberuuut cemberuuuut! Hahaha!” Tapi Ken malah tertawa puas. Menjahili Kay memang hiburan tersendiri untuknya. Dia paling gemas melihat adiknya mengomel lalu memanyun-manyunkan bibirnya.

Namun, meski suka melihat Kay cemberut, Ken tidak bahagia jika Kay mengalami suatu masalah. Dia akan merasa cemas jika adiknya harus menanggung bebannya sendiri.

Nasihat-nasihatnya itu… semoga akan menjadi acuan oleh Kay selama dia syuting!


Bab IV

Dan akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah berpagar biru. Ken menepikan mobilnya di pinggiran jalan yang tidak terlalu lebar itu. Matanya fokus mengawasi mobil hitam bertuliskan “Cool TV” yang terparkir di depan rumah berpagar hijau beberapa meter di depannya. Dia terlihat tegang.

“Ken, kenapa berhenti di sini? Sebaiknya kita cepat-cepat ke tempat syuting.” Santi menyentuh bahu Ken. “Bukankah aku sudah pernah cerita? Syuting dimulai beberapa menit lagi. Tapi, Kay sudah terlambat. Dan akan ada hukuman buat peserta yang datang paling terakhir, lho.”

“What?” Kay tercengang. “Hukuman apa?” tanyanya cemas.

“Nanti kamu lihat dan…” Santi menatap Kay ragu. “…mungkin kamu rasakan sendiri.”

“Hhh!” Kay mengembuskan napas panjang. “Tapi hukumannya gak berat, kan? Gak memalukan, kan?”

Santi mengangkat bahu. “Ini season pertama. Benar-benar baru. Tidak ada bayangan akan seperti apa hukuman itu. Jadi, akan banyak spontanitas nantinya. Dan jujur, aku pun tidak tahu hukuman seperti apa yang akan mereka siapkan untuk si loser di setiap games.”

“Aaaah~! Kaaak, lo denger gak sih???” Kay menggoyang-goyangkan sandaran jok Ken.

“Iya, gue juga tahu. Justru karena gue tahu makanya gue….”

Omongan Ken terputus setelah seorang cewek keluar dari pagar hijau. Seorang cewek berambut panjang kepang dua dan berponi pagar. Memakai celana jeans panjang dan kemeja lengan pendek kotak-kotak. Terlihat rapi dan manis. Dia keluar dari rumah bersama 3 orang berkostum hitam hitam; 1 orang memegang kamera, 1 cewek menyeret koper dan 1 lagi sebagai pemandu!

Kay melemparkan pandangan pada Santi dan Ahmad. Mereka orang-orang yang se-profesi! Jadi???

Santi pun bingung. “Kami tidak meminta kamu menunggu peserta lainnya untuk bersama-sama ke lokasi syuting. Kay dan peserta lainnya berkompetisi loh.” Santi mengingatkan setelah Ken tak juga meneruskan perjalanan. Padahal mobil tim Talent Pop Teens yang membawa cewek itu sudah berangkat lebih dulu.

“Kay akan terhindar dari hukuman terburuk jika dia bisa lebih dulu sampai dari peserta lainnya.”

“Kak, gue tahu selama ini gue sering ngerepotin lo. Tapi cara balas dendamnya gak harus seperti ini juga, kali.” Kay panik memukul pundak Ken.

“Hehehe, balas dendam???” Ken balas keheranan. Kemudian tersenyum penuh makna. “Udah, lo tenang aja. Dan ingat ya, lo jangan mudah negatif thinking sama orang yang menyayangi lo, hehehe!” ucapnya penuh teka-teki. Dia kembali memacu mobilnya, tapi lebih pelan.

Tapi Kay mencurigai sesuatu. Dia mengingat-ingat paras cewek berambut panjang dan bertubuh langsing itu. Kay tidak sempat mengamati persis bentuk wajahnya. Tapi jika cewek itu berhasil lolos audisi di Talent Pop Teens, berarti dia berbakat dan memikat, bukan?

Ya, cewek yang keluar dari rumah berpagar hijau itu juga peserta Talent Pop Teens!

Apa mungkin Ken menyukai cewek itu, sampai-sampai dia ingin mendahulukan cewek itu agar terhindar dari hukuman terburuk???

Dan sebagai gantinya mengorbankan adik lelakinya sendiri???

Sebegitu sukanya kah Ken dengan cewek itu? Bukankah tadi saat cewek itu keluar, sekilas Kay melihat pipi Ken tertarik ke samping? Ken tersenyum sipu saat melihat cewek itu???

Setahu Kay, Ken baru 1x berpacaran di masa SMA-nya. Tampaknya, dia betah dengan status jomblonya dari 12 SMA sampai kuliah semester akhir.

Tapi kini, melihat gelagat Ken yang nervous, Kay berpikiran… sepertinya Ken telah menemukan tambatan hati. Dan jika benar gadis itu… Oh, jadi Kay akan syuting bersama calon kakak iparnya? Kay tersenyum nakal.

Entah kenapa dia seperti mendapatkan semangat lebih mengikuti ajang Talent Pop Teens. Karena cewek manis itu. Juga spekulasi hubungan gadis tersebut dengan Ken.


Resensi Novel : Impian Yang Sempurna

Review Novel : Impian yang Sempurna

Novel remaja Impian yang Sempurna

Novel : Impian yang Sempurna

Penulis : MQ Maria

Genre : Teenlit Inspiratif

Penerbit : Zettu (2014)

 

Hallooo… >.<

Sedikit telat posting ini (2014 nyaris berakhir). Terima kasih buat kalian yang telah berkunjung ke blog ini, entah sengaja atau cuma tersesat aja, haha. Semoga kalian suka blog ini walau terlampau sederhana dan gak ada inovasinya sama sekali, haha >.<.

Well, seperti yang terlihat di foto, judul novel karyaku ini adalah Impian yang Sempurna. Yup, kita semua pasti memiliki impian, bukan? Banyak cara dilakukan untuk meraih impian, walau terkadang rasa pesimis membuat kita berpikir bahwa impian itu terlalu tinggi dan mustahil untuk diraih.

Namun, Marsya, tidak lantas menyerah begitu saja meraih impiannya. Yup, Marsya adalah nama tokoh utama dalam novel ini. Dia adalah seorang gadis SMA yang memiliki cita-cita tinggi—menjadi perancang mobil.

Novel ini bercerita tentang perjuangan dia agar bisa masuk ke sekolah baru yang inovatif, sekolah khusus otomotif. Marsya tomboy, dan dia suka mengutak-atik mobil mainan seperti orang gila. Dia tertarik dengan mobil sejak kecil. Namun banyak sekali halangan yang dia tempuh, bahkan hanya untuk bisa belajar di sekolah khusus pembuatan mobil.

Yup, sekolah itu hanya menerima seleksi untuk siswa lelaki. Marsya tidak bisa mendaftar seleksi masuk karena dia adalah perempuan.

Namun, Marsya memiliki saudara kembar, Marko. Nah, dia pun memanfaatkan Marko agar bisa masuk ke sekolah itu. Bagaimana caranya? Dan apakah Marko yang kolot, serius, pemarah, dan jutek bersedia membantu Marsya yang urakan itu agar bisa meraih impiannya?

Novel Impian yang Sempurna memang mengetengahkan persaudaraan Marsya-Marko, dan perjuangan mereka agar semakin dekat dengan impian besar mereka. Tak hanya itu, masih ada cerita percintaan Marsya-Ray, persahabatan Ray-Marko, hubungan hambar ayah-anak, juga kedekatan batin guru dengan muridnya.

Buat yang belum baca, aku kasih bocoran novelku. Semoga bisa menikmati ceritanya walau hanya sepotong, haha >.<

Semoga suka dengan ceritanya >.<

Dan terima kasih banyak buat yang sudah membeli dan membacanya. Terima kasih atas apresiasinya >.<.

Salam hangat,

 

MQ Maria

Twitter : @Uniquemq

 

 

 

 

 

————————————————————————–

————————————————————————–

————————————————————————–

 

“Kok Lo bawa gue kemari? Ngapain?” tanya Marsya dengan nada manja. Marko menoleh sebentar lalu membuka kunci pintu di depannya.

“Karena di sini ada harta karun berharga!” Marko membalasnya dengan senyum. Mendorong pintu yang jarang dibuka itu hingga terdengar decit keras. Kreeekkk!

“Waktu gue naruh mobil-mobil mainan dan rakitan gue kemaren, gue nggak ngeliat ada harta karun berharga,” sahut Marsya lugu. Ia mengipas-ngipaskan tangan di depan mulut. Debu-debu beterbangan menyerbu hidungnya. Khas sebuah gudang. Mereka memang tengah memasuki ruangan pengap itu.

“Uhukk…uhukk!” Marko terbatuk-batuk.

“Mana harta karunnya? Emas batangan? Koin perak? Guci etnik yang langka? Atau???” tanya Marsya polos.

Marko tersenyum simpul. “Bahkan semua itu nggak sebanding harganya dengan harta karun yang ada di sini!”

Marko pun membuka salah satu jendela. Membiarkan langit cerah sore ini mengirimkan cahayanya ke gudang yang gelap itu. Beberapa lubang ventilasi tertutupi oleh sarang laba-laba. Plafon di atas mereka sudah terkelupas. Suara cicit tikus terdengar sayup-sayup. Gudang ini memang sedikit mengerikan.

“Gue jadi penasaran sama harta karun yang Lo maksud! Mana?”

“Kok nanya gue? Kan Lo yang nyimpen? Di mana Lo naruhnya?” Marko bertanya balik. Mencari-cari kardus mie instan yang ia duga sebagai “garasi” mobil-mobil Marsya.

“Lah, kok Lo justru nanya gue? Sebenarnya, ada nggak sih harta karun itu?”

Karena banyaknya kardus-kardus yang tidak tersusun rapi di dalam gudang itu, Marko kesulitan mencarinya. Marko pun memutuskan mencari kardus yang masih terlihat baru. Dan ia menemukannya. Segera Marko mengangkat kardus itu. Membawanya ke bawah jendela agar terterangi oleh cahaya matahari.  Marsya mengikutinya.

“Harta karunnya ada di sini!” Marko membuka isi kardus itu.

Marsya terhenyak bingung. “Ini kan mobil-mobilan gue, Ko. Jadi, yang Lo maksud tadi…emas batangan, koin perak, guci etnik…nggak sebanding harganya dengan…” simpul Marsya ragu-ragu. Mobil-mobilan Marsya?

“Menurut gue, ini lebih berharga untuk Lo miliki daripada harta kekayaan itu.  Ini impian Lo, Sya. Nggak ada yang bisa ngebandingin mahalnya sebuah impian!” Marko mengelus rambut Marsya. Marsya tersentuh dengan kata-katanya.

“Lo udah ngebikin mobil-mobilan yang ukurannya bahkan lebih kecil dari guci ini berhari-hari, dengan keringat Lo, dengan kesabaran Lo.” Marko menimbang-nimbang mobil rakitan yang tak sempurna itu. Marsya sudah menghancurkannya.

“Dan perjuangan itu tak bisa dihargai dengan rupiah!”

Marsya mengangguk. Ia menghempaskan tubuh langsingnya di lantai, di samping kardus itu. Kemudian ia mengambil salah satu mobil mainannya.

“Mobil yang Lo pegang itu, Lo beli setelah Lo nggak jajan di sekolah 1 bulan. Kentara banget Lo kehilangan berat badan. Lo kecapekan keliling mall buat nyari tuh mobil sampai maksa-maksa Tante buat mijitin kaki Lo. Padahal, buat orang lain, apa pentingnya berkorban sebegitunya hanya untuk mobil mainan pajangan?”

Marsya tersenyum miris. Ia ingat peristiwa itu. Ia memang antusias sekali saat teman sekelasnya memberitahu bahwa stok mobil-mobilan itu hanya tersisa sedikit. Ia tak ingin kehabisan.

Marko merebut mobil mainan itu dari tangan Marsya. Ia menyelonjorkan kakinya dengan santai.  

“Mimpi Lo sebagai perancang mobil itu, nggak seharusnya Lo tinggalin hanya karena Lo bukan “Laki-laki”. Lo hidup di zaman emansipasi, Sya!”

“Tapi pihak AutoWheel mungkin nggak peduli soal emansipasi. Cewek nggak diberi kesempatan untuk menjadi perancang mobil yang hebat dan sukses lewat jalur mereka.” Marsya mendongakkan kepalanya dan menarik nafas. Kepalanya tertoleh pada sesuatu yang terpajang di atas lemari tua lapuk yang berdiri di depan.

Marsya terbeliak. “Itu…sepatu bola Lo waktu kecil kan, Ko?” tunjuk Marsya. Ia berdiri dan mengambil benda milik Marko itu. Marsya berusaha meraihnya dengan menjingkitkan kaki. Hupp…hupp! Ia bisa mendapatkannya setelah meloncat-loncat kecil.

Marsya mengelus-elus sepatu berwarna putih tersebut. “Gilaaa… ini masih bagus banget, Ko! Emangnya belum pernah Lo pake ya?”

“Cuma sekali dan untuk yang terakhir kalinya!” sahut Marko kalem. Ia sedikit sedih jika mengingat kenangannya bersama sepatu itu. Itu hadiah almarhumah mama saat ultahnya yang ke-12.

Marsya kembali ke samping Marko. Tangan kedua saudara kembar itu, masing-masing—meskipun tertukar, memegang sebuah benda yang berhubungan dengan mimpi keduanya. Marko memegang mobil mainan Marsya. Marsya menggenggam sepatu bola Marko. Bedanya, mimpi menjadi perancang mobil itu masih bisa Marsya raih. Ia masih punya harapan di situ.

Sedangkan mimpi Marko menjadi pemain sepakbola terkenal, telah ia tinggalkan.

Mulut keduanya terkatup. Memandangi benda yang ada di tangan mereka. Marsya melirik ke arah Marko yang terlamun itu.

“Ingat almarhumah Mama ya?” tanyanya hati-hati. Ia tak ingin membuat Marko lebih sedih. Marko memang mudah terpikirkan sesuatu. Ia sensitif.

Marko mengangguk. “Sepatu itu hadiah ulang tahun terakhir dari Mama,” lirihnya.

Memang 2 bulan sebelum ultah mereka yang ke-13, Mama menghadap Tuhan terlebih dulu. Mereka kehilangan orang yang sangat dicintai. Mata Marko berkaca-kaca. Perpisahan paling memilukan yang pernah mereka alami.

“Gue sedih bila ingat mama. Saat-saat terakhir kita bersama mama, di dalam mobil, di rumah sakit,” kenang Marsya. Penglihatannya berkabut. Ia menyekanya perlahan. Ia melirik Marko. Mengusap bawah mata Marko dengan lembut. Ada bening yang meresap ke jarinya. Ia juga nyaris menangis. Tapi ia akan lebih menangis jika tak buru-buru menyeka airmata kakaknya.

Marko diam saja meresponnya. Ia hanya bersandar sambil merenungi kejadian itu.

Di mobil, di rumah sakit! Itu memang tempat terakhir yang penuh kenangan bersama mama. Mengenang mama, membuat keduanya menjadi rapuh. Mereka tersandar di dinding gudang yang kotor itu. Mengambil napas dan menghembuskannya bersamaan. Menerawang ke beberapa tahun yang lalu.

Momen terakhir yang sungguh bermakna bagi kehidupan mereka!

***

“Masih ingin menjadi pemain sepakbola juga, hah?”

Plak! Papa melecut kaki Marko dengan ikat pinggangnya. Papa marah karena memergoki Marko kecil 12 tahun yang pulang ke rumah dengan memakai seragam Orange, kesebelasan Belanda.

“Marko cuma main, Pa. Marko udah nggak ikut sekolah bola itu lagi. Tadi Mar~” Pembelaan Marko terhenti. Papa langsung merebut bola yang ia pegang. Di ruang keluarga yang seharusnya mereka dipenuhi dengan keakraban, justru jadi tegang saat itu.

“Papa sudah melarang kamu berkali-kali untuk bermain bola, tapi kamu masih juga bandel.” Papa mengingatkan Marko.

“Marko ingin seperti Marco van Basten, Pa!” bisiknya seraya tertunduk.

“Hhh, siapa itu Marco van Basten? Papa belum pernah dengar ada menteri kita bernama Marko van Basten! Lepas baju kamu itu sekarang juga.” Menarik-narik baju seragam sepakbola yang melekat di badan Marko.

“Sebaiknya kamu nggak usah bergaul lagi dengan teman yang mengajakmu mendaftar di sekolah bola itu. Paham?”

Namun saat itu, Marko enggan melepaskan bajunya. Ia amat menyayangi seragam yang ia beli dari celengannya. Jelas Papa semakin emosi. Kala itu ia sedang uring-uringan karena pemilik rumah sewaan mereka meminta ia dan keluarganya segera berkemas. Rumah itu ingin dijual. Papa tengah mengembang suatu masalah serius.

Mungkin karena sedih melihat pertengkaran itu, Mama tiba-tiba mengeluhkan perutnya yang mulas. Ia memang tengah mengandung hampir 9 bulan. Mungkin sudah saatnya ia diboyong ke rumah sakit. Papa menghentikan kemarahannya pada Marko. Ia segera menghidupkan mesin mobil bututnya.

Marko dan Marsya diminta menggendong mama hingga ke mobil. Sesampainya mereka ke rumah sakit terdekat, Papa langsung diminta menyanggupi biaya administrasi sebelum mama dioperasi caesar untuk persalinan. Panik, Papa mengiyakan saja walaupun jumlah uang yang diajukan pihak rumah sakit terlalu besar baginya.

Karena banyaknya pasien, para dokter yang sibuk malah mendahulukan istri seorang pejabat penting yang juga akan melahirkan, yang datang belakangan. Cara mereka memperlakukan orang itu memang lebih istimewa. Mama terlambat ditangani hingga ia tidak sanggup dan menyerah. Ia meninggal.

Mungkin itu memang sudah suratan takdirnya. Namun bisakah hal itu mereka terima begitu saja? Peristiwa itu berbekas sekali di hati mereka! Seperti sebuah dendam.

Peristiwa menyedihkan tersebut mengubah pemikiran, sifat, bahkan cita-cita  mereka—Papa, Marko, dan Marsya. Bagi Papa, kematian istrinya itu karena ia salah telah membawa sang istri ke rumah sakit swasta yang elit dan mahal. Saat itu ia hanya memakai kaos putih polos dan celana lusuh. Mungkin ia dianggap miskin dan tidak mampu membayar biaya administrasi. Oleh karena itu, sebelum mereka mengoperasi mama, Papa diminta berjanji untuk menyanggupinya terlebih dahulu.

Dulunya, Papa senang hidup sederhana. Sekarang, ia mendirikan usaha sambilan di sana sini agar ia bisa lebih kaya. Ia selalu berpenampilan necis agar terlihat seperti orang kaya. Membeli rumah besar dengan uang pinjaman di Bank, dan sebagainya.

Seolah kemiskinan yang sudah membunuh istrinya!

Sedangkan bagi Marsya, mungkin mama mash bisa terselamatkan jika mereka berstatus sosial tinggi seperti istri pejabat tenar itu. Pihak rumah sakit lebih mendahulukan orang penting daripada mereka yang hanya orang biasa, tidak populer. Oleh karena itu, ia pun makin mantap dengan cita-citanya sebagai perancang mobil, dengan embel-embel terkenal di belakangnya.

Dan bagi Marko? Itu bukan salah identitas dan imej! Dokter itu saja yang tidak profesional. Memang tak semua dokter itu baik. Karena itu ia berjanji, suatu saat ia akan menjadi dokter yang bijak. Tahu mana yang harus didahulukan. Tak memandang status pasien. Bekerja dengan profesional. Sebab mengapa ia mencintai pelajaran Biologi, dan berusaha meraih peringkat 1 di kelasnya. Impiannya menjadi pemain sepakbola pun mantap ia gantikan dengan mimpi barunya. Menjadi dokter.

“Karena mama, gue bisa ngelupain impian gue menjadi pemain sepakbola. Sedangkan Lo~”

“Ini juga karena mama, Ko,” sela Marsya. “Mungkin nanti gue bisa bikin mobil ambulance berkecepatan tinggi atau memiliki fasilitas lengkap hingga pasien bisa melahirkan langsung di dalam ambulance. Jadi nggak akan ada lagi kasus kematian karena keterlambatan ditangani, hehehe!” Ia sedikit bercanda. Namun, sebenarnya memiliki makna yang dalam.

Marko mengangguk. “Jangan menyerah untuk mengejar mimpi Lo! Sama seperti gue yang akan terus mengejar cita-cita gue sebagai dokter. Walau nantinya…” Marko menyeka keringat di dahinya. Marsya deg-degan menunggu kata-kata Marko berikutnya.

“…gue harus melanjutkan sekolah gue di AutoWheel,” sambungnya pelan.

Marsya terhenyak. Merasa ada yang aneh dari perkataan Marko. “Lo mempertahankan mimpi Lo sebagai dokter, tapi Lo pasrah jika Lo pindah ke AutoWheel? Maksudnya?”

Marko memberi feedback berupa senyum. Ia menyentuh pipi Marsya yang basah.

“Gue tahu, airmata itu bukan hanya karena Lo teringat sama mama kan? Tapi juga karena Lo teringat lagi dengan mimpi Lo menjadi perancang mobil terkenal? Ya kan?”

Marsya mengangguk. Marko benar.

“Gue udah merenunginya, Sya. Mikirin jalan yang terbaik buat kita bertiga—gue, Lo, juga Papa. Dan gue mutusin…” Marko menelan kembali kata-kata berikutnya. Suasana tiba-tiba senyap. Marsya tegang menunggu kalimatnya.

“Gue mutusin…” Ia menghela napas panjang. “…besok gue akan berusaha sekuat tenaga gue supaya gue lulus tes fisik di AutoWheel!”

Apa? Marsya kaget dengan keputusan Marko. Ia seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia memang sempat berharap agar Marko bersedia ikut tes fisik untuknya. Kini, setelah ucapan tersebut keluar dari mulut Marko sendiri, ia malah bingung.

“Kok malah pasang muka heran begitu?” Marko mengguncang-guncang bahunya.

“Lo bersedia berusaha sekuat tenaga agar bisa lulus? Jadi Lo ngizinin gue nyamar jadi Lo kalo Lo lulus? Jadi, Lo rela pindah dari 101, atau…Lo ikhlas putus sekolah demi gue???”

Kernyit yang sama berpindah ke dahi Marko. “Lo mikir apaan? Putus sekolah demi Lo? Ngizinin Lo nyamar jadi gue? Hahaha!” Marko terbahak. Marko tengah meledek?

“Ko, maksud Lo apa? Jadi Lo rela ngelakuin itu semua buat gue? Kok Lo malah ketawa?” tuntut Marsya tak sabar. Ia mendorong bahu Marko.

“Siapa juga yang rela ngelakuin itu semua? Gue akan berusaha lulus tes fisik itu, memang…memang itu semua demi Lo,” pungkasnya. “Tapi kalo putus sekolah demi Lo, mana ridho gue! Gila aja kali, hahaha!”

“Terus???” Tampaknya Marsya sedang benar-benar haus akan penjelasan.

“Gue nggak marah tadi pagi Lo nyamar jadi gue. Justru, rencana gue memang seperti itu. Nggak datang ke AutoWheel supaya Lo gantiin gue. Gue berhasil, kan?” Ia mengerlingkan mata dengan jahilnya.

“Dan karena jiwa Lo emang udah ada di otomotif dan AutoWheel, gue nggak akan biarin gitu aja. Gue akan berusaha menaklukan tes fisik agar gue lulus. Setelah gue terdaftar di sana, maka cita-cita Lo menuntut ilmu di AutoWheel akan tercapai, Sya!”

Meskipun Marko sudah bicara dengan bahasa yang apa adanya, Marsya tetap geleng-geleng tidak mengerti. “Maksudnya???”

Tuingg! Marko justru mendorong kepala Marsya dengan telunjuknya. “Ini otak udang apa otak manusia sih? Ya dipake donk. Pikirin ndiri aja deh. Gue juga pusing ngejelasinnya.” Marko mendadak tidak mood dengan Marsya. Telmi sih!

Marko keluar gudang lebih dulu. Ia membawa kardus berisi mobil-mobilan itu. Marsya tak yakin apa Marko serius dengan perkataannya. Ia bengong saja di tempatnya. Marko bersedia ikut tes masuk agar Marsya bisa sekolah di AutoWheel? Ei, bukankah itu terdengar aneh?

Tapi Marko tak membual. Ia akan membuktikannya!

***