Resensi Novel : Everything For Mama

Judul Novel : Everything For Mama

Penulis : MQ Maria

Genre : Teenlit Reliji

Penerbit : Quanta (Elex Media Group)

Terbit   : Oktober 2014

Harga : Rp. 39.800,00

novel_everythingformamai

Bagiku, ini novel yang tak biasa >.<. Aku lebih suka menulis cerita bertema remaja yang menunjukkan keceriaan remaja—percintaan, persahabatan dan persaudaraan. Aku menulis ini sebagai tantangan untuk diri sendiri. Keluar dari zona nyaman, dan mencoba sesuatu yang baru. Semoga tidak gagal, haha >.<

Sedangkan novel ini fokus menceritakan tentang gejolak batin Alia, gadis 17 tahun, yang memiliki seorang ibu dengan masa-masa pahit. Tak hanya memiliki masa lalu yang penuh masalah, sang ibu juga mengalami saat-saat sulit di masa kini. Alia baru 17 tahun, masih sangat muda, namun dia mengalami banyak ujian.

Dan ironisnya ujian itu datang dari ibunya sendiri.

Tepat di usianya yang ke-17 tahun, Alia mendapatkan kado ulang tahun berupa cerita tentang masa lalunya, bagaimana dia dilahirkan, dan siapa orangtua kandungnya.

Alia terpisah selama 17 tahun dengan sang ibu, Donna. Dan ketika mereka bertemu kembali, Alia syok menghadapi emosi Donna yang sangat labil. Donna kesepian, kehilangan harapan hidup, dan tak berdaya. Cukup sulit menerima keadaan Donna.

Menerima kekurangan ibu yang seperti itu sangat sulit dan membuat batin Alia tersiksa.

Alia bisa saja malu, bisa saja membuang Donna, bisa saja tidak mengakui Donna sebagai ibunya. Namun kerinduannya terhadap sang ibu memaksa Alia untuk bertahan.

Donna pun tidak mengenali Alia sebagai putri yang pernah dititipkannya pada Bik Nur, asisten rumah tangganya. Dia melupakan putrinya sendiri. Hingga sulit bagi Alia mengakui bahwa dia putri Donna di awal pertemuan. Dia pun menyembunyikan statusnya dan mengaku ingin mengurus Donna dengan menyamar sebagai pembantu.

Bagaimana pertemuan demi pertemuan Alia dengan Donna? Bagaimana akhirnya hingga Donna mengenali Alia? Apa saja ujian yang dihadapi Alia saat bersama Donna yang tengah depresi? Bagaimana penerimaan Alia terhadap kondisi sang Mama? apa saja pengorbanan Alia demi bisa selalu dekat dengan Mama yang dirindukannya sejak lama?

Silakan temukan jawaban sendiri, haha >.<

Dan jangan lupa untuk mencari tahu tentang Anton, pemuda manis sahabat Alia, yang jatuh cinta padanya. Bagaimana hubungan Alia dengan Anton? Dan benarkah Anton memiliki keterkaitan dan cerita yang sama dengan Alia dan Donna? >.<

Novel ini pernah kuterbitkan secara Indie di penerbit Leutika Prio. Kemudian kurombak hingga mengalami perubahan sekitar 80%, namun tetap di garis cerita yang sama. Terima kasih buat Kak Editor Linda Razad dan Penerbit Quanta yang bersedia menerbitkan ulang dengan jauh lebih baik >.<.

Berikut, saya berikan cuplikan cerita di novel ini. Semoga suka dengan ceritanya, dan tertarik untuk membelinya, haha >.<

Salam hangat,

MQ Maria

————————————–

—————————————

BAB VIII

Setelah peristiwa itu, Alia merasa lebih mudah mendekati ibunya.

Mama memang sangat diam dan jarang berbicara. Tapi Alia tahu apa saja yang sedang dibutukan sang Mama. Setiap hari dia berbelanja lauk, sayur-sayuran sehat, susu dan buah ke pasar. Setelah pulang, dia akan menemui sang Mama di kamarnya. Dia berbicara tentang apa saja meski tak ada tanggapan berarti dari Mama.

Setelah memastikan bahwa Mama baik-baik saja dan tidak sedang darurat membutuhkannya, Alia meninggalkannya ke dapur. Dan memasakkan makanan yang berbeda-beda tiap harinya.

Alia tidak pandai memasak. Tapi dia mencoba yang terbaik dia bisa. Selesai memasak, dia akan pergi ke kamar Mama dan menyuapinya. Alia senang melihat sang Mama begitu lahap memakan hidangannya. Namun tak ada yang Mama ucapkan padanya, termasuk ucapan terima kasih. Namun itu tak apa bagi Alia. Berada di dekat mama saja dia sudah senang. Dia bahagia melakukan ini semua.

Dia juga melakukan pekerjaan rumah lain seperti membersihkan lantai, dan mencuci pakaian. Dan ada pekerjaan lain yang sebetulnya dia agak risih melakukannya.

Ketika sang Mama buang air di celana.

Sering sang Mama terlambat memanggilnya untuk minta diantarkan ke toilet. Lalu Alia terpaksa membersihkan kursi roda dan memandikan Mama.

Jujur, inilah pekerjaan terberatnya selama menjaga sang Mama. Dia menangis saat harus membersihkan tubuh Mama dari kotoran. Kadang dia berpikir dia butuh sekali bantuan perawat. Tapi melihat sikap Mama yang mudah berpikiran buruk terhadap orang-orang baru, Alia mengalah. Alia tidak ingin ada Bik Inah dan Mas Memet lain lagi yang menjadi korban.

Mungkin memang tidak ada seorang pun yang bisa mengerti dan mampu bertahan didekat Mama selain dia, putri kandungnya.

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan dari saya?” Dan ketika tiba-tiba Mama menanyakan hal itu, Alia dengan cepat menjawabnya,

“Nyonya sehat. Dan bisa diajak jalan keluar.”

“Hanya itu?”

“Nyonya memiliki selera fashion yang bagus. Aku ingin nyonya memilihkan pakaian untukku.”

Sang Mama menatap mata Alia lekat-lekat. Semakin sering bersama Alia, semakin dia merasakan kedekatan dengan anak ini. Alia cukup pandai mengambil hatinya. Meski dia masih tidak tahu siapa Alia dan apa tujuan sebenarnya. Dia pikir, selama ini tidak pernah ada teman, sahabat, bahkan keluarga yang setulus ini padanya.

“Saya harus sembuh. Bantu saya untuk sembuh.” Kemudian dia tersenyum dan meneteskan airmata.

Alia ikut tersenyum. Dia bahagia sekali. Ini pertama kalinya sang Mama tersenyum untuknya. Alia memeluk Mama, yang disambut hangat tanpa penolakan oleh sang Mama.

“Tolong jangan tinggalkan saya. Jangan pernah tinggalkan saya,” rengek Mama, seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya sendiri.

Alia menggeleng dan mengusap-usap punggung sang Mama. “Aku tidak akan meninggalkan nyonya. Karena aku butuh berada di dekat nyonya. Aku butuh berada di dekat nyonya.”

Mama tersenyum haru, lalu dia menyentuh pipi Alia. “Saya ingin mengurangi bebanmu. Tapi bolehkah saya meminta sesuatu?”

Tentu saja Alia menyanggupinya. Dia sangat senang bisa melakukan sesuatu untuk sang Mama tercinta. “Apa saja akan kulakukan.”

***

Dan inilah yang dilakukan Alia sekarang. Dia membantu sang Mama belajar berjalan. Alia juga memanggil seorang dokter keluarga baik hati yang bersedia membantu mereka. Dokter perempuan itu memberi instruksi bagaimana cara agar Mama berangsur-angsur bisa berjalan lagi.

Kecelakaan yang Mama alami sebetulnya tidak terlalu parah. Dia hanya patah kaki biasa. Jadi banyak harapan dia bisa melangkah secara normal.

Namun, ada penyakit lain yang memangsa kekebalan tubuhnya. Ya, tubuhnya tergolong sangat lemah.

Braakkk! Hingga Mama terjatuh, dan tertindih kursi roda.

“Aaargggh!” Dia meronta kesakitan.

“Mama!” Dan Alia pun berteriak panik.

Sang mama menoleh. Dia melihat Alia sedang berlari ke arahnya. Dia mendengar suatu kata tak biasa yang pembantunya ucapkan. Tapi dia meragu.

Apa dia memanggilku mama?

Melihat sang Mama terkulai di lantai, segera saja Alia memapahnya bangun, dan menuntunnya ke kursi meja makan. “Mmh, nyonya duduk saja di sini. Nyonya ingin mengambil apa? Nanti aku yang ambilkan di kulkas.”

“Ti~ tidak perlu. Saya ingin rebahan. Bisakah antar saya ke kamar. Saya pusing.”

“Baik, nyonya.”

Nyonya? Mama memandangi gadis dengan T-shirt pink dan celana jeans ini dari samping.

Alia ingin menggiring Mama ke kursi roda, tapi Mama menolaknya dan ingin berjalan saja. Alia menuruti permintaannya. Dia melingkarkan tangan Mama di bahunya, lalu susah payah dia menahan tubuh Mama agar tidak jatuh. Mama melangkah dengan terpincang-pincang, dan itu membuat Alia sedikit kewalahan menopang tubuhnya.

Mereka nyaris limbung beberapa kali. Tapi mereka tidak panik, malah tertawa-tawa.

“Nyonya, maaf. Sepertinya lantai di depan itu belum kering. Aku mengepelnya terlalu basah tadi.”

“Tak apa. Lagipula, jika kita tergelincir, kita akan terjatuh bersama-sama, kan? Hehehe.”

Alia cuma mengangguk-angguk seraya tersenyum manis sekali. Sungguh, melihat Mama terkekeh seperti itu, jantung Alia berdebar. Apalagi mereka bisa sedekat ini. Ukuran tinggi mereka nyaris sama. Alia merasa, dia dan mama adalah sepasang ibu dan anak yang sangat serasi.

“Alia, kamu tahu keadaan saya seperti ini. Uang di dalam dompet saya tidak ada. Tabungan saya terkuras habis. Harta benda ini mungkin akan disita sebentar lagi. Kamu tidak mendapatkan gaji, tetapi kenapa dia masih mau bekerja untuk saya?” Mama mengajak Alia berbincang sembari melangkah.

“Mmh, kebetulan… ini sedang liburan. Selama ini, saat hari-hari sekolah, aku tidak bisa melakukan banyak hal selain belajar, les, ekskul. Semua waktuku seolah dihabiskan untuk sekolah. Aku ingin melakukan hal lain yang lebih… mmm.”

“Menantang?” Mama menaikkan sebelah alisnya. “Kamu lihat sendiri kan bagaimana saya memperlakukan Bik Inah?”

Alia menggeleng dengan ekspresi manja. “Bukan. Tapi… membahagiakan.”

“Bahagia?” Mama memakukan tubuhnya hingga Alia pun berhenti menuntunnya.

Alia menatap wajah Mama lekat-lekat. “Ya, bahagia. Bersama dengan orang yang membutuhkan kita bukankah itu membahagiakan? Menjadi seseorang yang dibutuhkan, itu suatu kebanggaan.”

“Kebanggaan?”

Alia menghela napas. “Ya, karena dulu… aku pernah dibuang,” desahnya.

Deg! Entah mengapa hati Mama sesak mendengarnya. Dia merasa ada begitu banyak luka terselip dibalik nada suara Alia.

“Aku pernah dianggap hina dan tak berguna. Aku pernah disingkirkan. Jadi ketika seseorang membutuhkan kehadiranku, itu merupakan suatu kebanggaan untukku.”

Sungguh, Mama tidak tahu mengapa hatinya merasa sangat tersentuh. Dia seperti ikut merasakan duka yang dipendam Alia. Merasa seperti bagian dari luka itu. Bahkan…

“Kenapa saya merasa… saya telah melukaimu?” tanya Mama dengan ekspresi kebingungan, seolah mencari kepingan memori yang hilang.

Deg! Alia terhenyak. Ragu-ragu dia membalas tatapan Mama. Tapi… melukai? Alia merasa dia sudah memaafkan Mama. Dia tidak ingin mengungkit itu lagi. “Itu tidak benar.”

Kemudian Alia menarik seprai di kamar tidur Mama dan sedikit merapikannya. Lalu mendudukkan Mama di atasnya. Mama masih menatap Alia, meminta penjelasan.

Tapi Alia menghindarinya. “Nanti kita cerita-cerita lagi, nyonya. Sekarang beristirahatlah. Aku ingin keluar rumah sebentar, menghirup udara segar. Assalamualaikum.” Dan Alia pun bergegas keluar kamar.

Tapi sikap Alia justru membuat Mama semakin bertanya-tanya.

Benarkah dia datang ke rumah saya untuk menjadi pembantu?

Benarkah dia tak sengaja ketika memanggil saya…

…mama?

***

12 Comments

Leave a comment